Pernah dengar tempat wisata bernama Guci? Terus terang, pertama kali saya mendengar Guci, saya membayangkan pemandian air panas elite, dengan design European minimalis, mungkin juga karena namanya mirip dengan brand internasional terkemuka. Beberapa bulan yang lalu saya sekeluarga bekesempatan berlibur ke Guci, Tegal. Sebenarnya sih mama yang paling semangat dan penasaran tentang mata air Guci yang konon katanya ampuh menyembuhkan penyakit. Browsing lokasi, akomodasi, dan informasi pun dimulai lewat internet. Sayangnya, info yang kami dapat sangat minim, dan biasanya lebih banyak informasi perjalanan dari blog pribadi mereka yang sudah berkunjung sebelumya. Belum lagi masalah akomodasi, ujungnya saya cuma mendapat nomer telepon beberapa hotel, tanpa petunjuk bagaimana kondisi dan lokasinya.
Lima jam perjalanan dari Jakarta ke Kota Tegal, ternyata masih harus ditambah 1 jam lagi menuju Guci, yang jalannya menanjak plus berliku-liku. Sangat disayangkan, objek wisata Guci kurang didukung dengan petunjuk jalan yang memadai. Yah, mungkin namanya orang Indonesia, berpegang pada pepatah, malu bertanya sesat di jalan, jadi kami memang ‘dipaksa’ untuk tanya sana-sini supaya enggak nyasar.
Sampai di lokasi, untungnya, hotel yang sudah kami booking sebelumnya tanpa tau seberapa jauh dari sumber mata air terletak persis disebelah kolam air panas. Kenapa kami memutuskan menginap disana? Ini sih lebih ke tebak-tebak buah manggis, mau mengontak hotel saja susah banget, kadang salah sambung, kadang enggak diangkat, kadang hotel satu dengan hotel lain nomer teleponnya sama. Setelah beberapa kali mencoba menelepon dan kecewa, akhirnya kami dipertemukan dengan hotel melati ini. Hotelnya agak mirip kos-kosan, yang menurut saya agak pricey buat hotel sekelas itu. Mungkin juga karena waktu itu lagi musim liburan sekolah, jadi mereka ikut harga high season.
Singkat cerita, tibalah saatnya kami mencicipi mata air guci. J Disana kami bisa memilih, mau berendam gratis di sungai umum, atau di kolam renang hotel dengan membayar kontribusi. Salah besar kalau kamu pikir bisa bisa berleha-leha dengan privacy di kolam renang hotel. Ternyata banyak pengunjung yang rela menguras kocek buat berendam di kolam renang meskipun ada yang gratisan. Memang harganya tidak terlalu mahal dan terjangkau dompet. Alam memang hebat. Disana air bisa tumpah berlimpah-limpah dari sumbernya, dan ingat ini bukan sekedar air biasa, ini sumber air panas. Kalau biasanya kita harus pakai pemanas air buat mandi air panas, disini orang-orang tinggal nyemplung ke sungai. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu air panas jernih mengalir dengan derasnya dari mata air. Di pagi-pagi buta, bahkan sebelum matahari terbit, penduduk sekitar beramai-ramai datang ke sungai, melakukan ritual sehari-hari, mandi, cuci baju, dan sebagainya. Dari anak balita sampai kakek-nenek, laki-laki dan perempuan ikut berendam dan menikmati air panas Guci.
Ada pengalaman agak buruk yang saya alami di Guci. Entah karena sayanya yang ndeso, atau memang kejadian ini terjadi bukan pada saya seorang. Seperti sensasi berendam air panas pada umumnya, walaupun awalnya kepanasan, setelah beberapa lama saya malah keasyikan berendam air panas. Saya pun bukan sekedar berendam air panas, tapi juga berenang air panas. Berenang seperti di kolam renang biasa, bolak-balik dari ujung ke ujung sambil sesekali menyelam. Rasanya semua baik-baik saja, sampai sekitar 30 menit saya berenang dan memutuskan untuk menyudahi acara berendam a. k. a. berenang saya. Begitu naik dari kolam, pandangan saya mulai buram, kepala pusing, dan perut mual. Saya pun terduduk di pinggir kolam, lemas hampir pingsan! Hal yang sama terjadi pada mama, yang hampir terjatuh begitu naik dari kolam. Untungnya papa dan adik saya tidak ikut-ikutan ambruk karena sempat keluar kolam beberapa kali selagi berendam. Rasanya waktu itu saya cuma kepingin cepat-cepat kembali ke hotel. Tapi apa mau dikata, kaki saya pun tidak kuat menopang berat badan. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk memulihkan kondisi dan kuat jalan menuju hotel. Jadilah acara berenang air panas disudahi dengan dua wanita terkapar di pinggir kolam.
Tidak ada petunjuk atau peringatan berapa lama pengunjung dianjurkan berendam. Saya pun bertanya-tanya apakah hal ini juga terjadi pada pengunjung lain. Penilitian menunjukkan, 15-20 menit berendam di air panas adalah batas toleransi tubuh kita terhadap suhu tinggi dalam kolam air panas. Berendam lebih dari waktu yang ditentukan bisa menyebabkan dehidrasi dalam tubuh dan overheating. Tak heran saya dan mama mengalami hal-hal di atas. Sepertinya tubuh kami kaget begitu keluar dari air panas ke suhu ruangan.
Padahal ini bukan kali pertama saya mengunjungi pemandian air panas, sebelumnya di Kuala Selangor, Malaysia saya berkunjung ke Taman Rekreasi Air Panas. Bedanya disana kolam-kolam lebih tertata rapi, lengkap dengan keterangan berapa suhu setiap kolam, dan tidak lupa peringatan waktu maksimum untuk berendam di kolam. Pengunjung pun lebih fleksibel dalam memilih, kolam 30°C, 40°C , sampai 80°C. Ada beberapa spot yang dikhususkan untuk merendam kaki saja, ada pula kolam bersuhu tinggi untuk merebus telur. Dengan informasi seperti ini, jelas pengunjung menjadi lebih waspada dan bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri.
Sepertinya sudah saatnya menambah informasi mendukung demi keselamatan pengunjung. Jangan sampai pengunjung jadi kapok datang lagi karena alih-alih kenangan manis, malah kenangan buruk yang didapat disana.
1 comment:
lumayan dapat pelajaran baru dari GUCI
baa
Post a Comment